Bulan yang lalu Bryan & gw berkunjung ke Kafe Batavia. Lagi asik pacaran, tau2 ada wartawan Sindo dtg ke meja & mau wawancara kami soal Kafe Batavia ini. Ya suds, ngobrol2 deh sama si wartawan. Sempet penasaran artikel yg mau dia tulis seperti apa. Iseng2 googling, eh nemu linknya :http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/suplemen/romantika-bersantap-di-bangunan-tua.htmlAda yang punya edisi cetaknya tgl 23 Nov ?
Ini copy paste artikelnya LifeStyleRomantika Bersantap di Bangunan TuaJumat, 23/11/2007
MENIKMATI keindahan arsitektur bangunan zaman Belanda tak hanya bisa dinikmati di museum. Sejumlah restoran-kafe di Jakarta mengandalkan sensasi bersantap di bangunan kuno untuk menarik pengunjung.
Salah satunya Cafe Batavia di depan Museum Fatahillah, Jakarta Kota, yang namanya populer hingga mancanegara. ”Kafe ini berada di urutan sepuluh dunia yang menggunakan setting gedung tua,” ujar General Manager Heru Tarjoto, 50.
Tak heran, Heru menuturkan, sebagian besar tamu adalah turis mancanegara. ”Pernah ada dua mahasiswa Jurusan Sejarah dari Prancis yang datang ke Jakarta khusus untuk melihat kafe ini,” ujarnya bangga. Apa yang dikatakan Heru tak berlebihan ketika mendengar penuturan turis asal Kanada Paul Church,66.
”Saya termasuk penggemar bangunan bersejarah,” ujar pria yang rela mengajak keluarganya ke kafe tersebut meski menginap di Bogor. Di luar negeri, sudah banyak bangunan tua yang diadopsi jadi kafe. Namun, dia kagum ada tempat semacam ini di Jakarta.
”Menurut saya, ide ini sangat brilian,”ungkapnya. Atmosfer bangunan yang berdiri pada 1805 ini memang berbeda. Betapa tidak, satu-satunya bagian kafe yang sempat dipugar hanyalah bagian muka. Sisanya masih orisinal. Ini terlihat dari lantai kayu,besarnya ukuran jendela, tingginya langitlangit, hingga beberapa furnitur peninggalan zaman kompeni.
Suasana tempo dulu kian kental dengan deretan foto dan lukisan pejabat, hingga Ratu Belanda lengkap dengan gaun dan mahkota.Alunan musik ‘50-an semakin menghangatkan suasana. Kalau datang pada malam hari, keremangan cahaya lampu di sudut- sudut Museum Fatahillah terlihat sangat cantik dari dalam kafe. Suasana seperti itulah yang dicari Bryan Tamara, 28, bersama kekasihnya, Irene Johanna Henuhili, 26.
Pria yang berprofesi sebagai fotografer ini menyadari betapa romantisnya Cafe Batavia setelah beberapa kali melakukan pemotretan di Taman Fatahillah. ”Kami baru saja candle light dinner sambil menikmati pemandangan.Rasanya seperti sedang berada di Eropa,” ujarnya tersenyum. Sambil berbisik, dia mengungkapkan rencananya untuk melamar sang kekasih di kafe tersebut pada sore hari.
Suasana serupa bisa juga ditemui di Oasis Restaurant, kawasan Raden Saleh Raya, Jakarta. Bangunan milik miliuner F Brandenburg van Oltsende itu disulap menjadi restoran berkualitas internasional sejak 1970. Meski arsitektur resto tersebut bergaya Eropa, di dalamnya justru sangat tradisional. Ada iringan gamelan dan tabuhan gong,serta interior penuh dengan topeng dan kain asal Sumatera.
”Tamu kami pun 80 persen orang asing,”ungkap General Manager Oasis Restaurant Oom Mucharam,50. ”Mereka (tamu) sangat senang dengan rijsttafel, yakni penyajian makanan khas dengan piring porselen kuno oleh 12 pramusaji wanita berkebaya,”ungkapnya. Kramer Christian, 50, misalnya, mengaku sudah 25 tahun menjadi pelanggan setia restoran ini.
”Hirukpikuk resto-kafe di mal bikin pusing. Di sini saya bisa santai, bersantap sambil mendengar live band,” ujar konsultan industri yang rutin datang dua kali sebulan itu. Pri Notowidigdo, 60, secara rutin mengajak klien-kliennya dari luar negeri untuk bersantap di restoran tersebut sambil berbicara urusan bisnis.
”Mereka kagum dengan atmosfer resto,suasana nyaman,serta keunikan rijsttafel-nya,” ujar Pri.”Tak heran bisnis saya banyak yang gol,”ucapnya. Pri sendiri sudah 23 tahun mengakrabi Oasis. Selama itu, dia memiliki banyak sekali kenangan tak terlupakan. ”Setiap ada anggota keluarga ultah,kami rayakan di sini.Kadang saya malah datang berdua bersama istri, sambil nostalgia,”katanya,tersenyum.
Cafe Oh La La di kawasan Margo City Mall, Depok, Jawa Barat, berdiri di atas bangunan megah berusia ratusan tahun. Meski interiornya terkesan modern, pesona arsitektur kolonial tetap melekat. Bangunan utamanya sendiri tak mengalami renovasi sedikit pun. Hal ini memberikan kesan homy bagi Bayu, 28.
Frekuensinya datang ke tempat tersebut lumayan sering. Namun, tak pernah sedikit pun, dia merasa bosan. ”Saya sering duduk sambil membayangkan seperti apa mereka yang dulunya tinggal di sini, serta masingmasing fungsi ruangan yang lebar itu. Sangat inspiratif,” tandas pria yang berprofesi sebagai desainer grafis ini. Bayu betah berjam-jam berada di sana sambil ditemani secangkir kopi dan buku favoritnya.(CR-13)